Aku tidak begitu terkejut saat menyadari bahwa hari itu menjadi pengunjung satu-satunya di Museum Kota Makassar. Dari buku tamu kemudian kuketahui pengunjung terakhir, yang kebetulan datang kemarin, juga berjumlah satu orang. Kemarinnya lagi, satu orang. Bahkan dua hari sebelumnya, nihil belaka. Barangkali benar jika museum boleh disebut sebagai tempat paling sunyi di Makassar, setelah perpustakaan dan sebelum kuburan. Yang hingga kini masih mengunjungi museum, jelas masuk dalam kasta antara ‘kurang kerjaan‘ dan ‘nganggur akut‘.

Meski terletak di kawasan ramai dan padat penduduk, tapi museum ini hening sehening-heningnya. Nyaris tidak ada aktifitas apapun terlihat dari luar bangunan. Jika plang yang menunjukkan identitas dihilangkan, orang mungkin akan menganggapnya sebagai kantor pemerintahan biasa. Ibu yang sedang bertugas menjaga buku tamu bahkan tampak kebingungan saat kakiku melangkah memasuki aula depan. Ia menanyakan keperluanku seperti harus memastikan dulu apakah benar hendak ke museum atau hanya sekadar turis yang ingin menanyakan alamat.
Aku tersenyum sebentar, lalu setelah menimang-nimang jawaban, kukatakan hendak melakukan liputan. Mendengar alasanku, barulah ia tergopoh-gopoh menyuruh petugas lain, yang sedari tadi khidmad termenung, untuk segera menghidupkan penerang di setiap ruangan. Gantian kini aku yang termenung, sambil tentu menduga-duga. Apakah protokolnya memang demikian, alasan penghematan, atau karena repot jika nanti harus mematikan lagi semua lampu di waktu pulang, maka sekalian saja tidak perlu dihidupkan semenjak pagi.

Si ibu juga langsung memberiku sebuah selebaran sederhana tentang informasi Museum Kota Makassar sambil berpesan, jika nanti mau menulis, maka tulislah yang baik-baik saja. Di mataku tentu permintaan ibu itu berat sekali. Ia memang tidak menyuruhku bersekongkol melakukan tindak penipuan, cukup ceritakan kebaikan saja. Tapi bagiku, memberikan informasi setengah penuh adalah bentuk halus dari berbohong. Sekali lagi aku hanya tersenyum, tidak mengangguk juga tidak menggeleng.
Koleksi Museum Kota Makassar dipisah dalam dua ruangan. Jika masuk dari pintu utama, maka ke dua ruangan itu terletak persis di sebelah kiri dan kanan meja penerima tamu. Ruang di sebelah kiri berisi plat kuningan ratu Wilhelmina, lukisan sultan Hasanuddin dan Cornelis Speelman, beberapa butir peluru meriam, salinan naskah perjanjian Bongaya, lusinan foto hitam putih masa silam, dan berderet-deret potrait walikota Makassar yang pernah menjabat mulai dari generasi pertama hingga hari ini. Sedangkan ruangan di sebelah kanan berisi macam-macam keramik, selembar batik Pekalongan, peta-peta kota zaman dulu, serta contoh pakaian adat pengantin suku Bugis, Makassar, Luwu, dan Toraja, lengkap dengan manekin. Selain itu, terdapat juga pakaian tradisional Tionghoa, India, dan Melayu, seolah-olah ingin menegaskan bahwa Makassar adalah kota yang multikultur.

Lebih dari separuh informasi yang tersedia di museum ini, bisa dengan mudahnya diunduh lewat internet. Aku bahkan mampu merangkum keseluruhan koleksinya hanya dalam satu paragraf. Barangkali itu sebabnya para penjaga abai saja dalam mengamankan museum. Aku dibiarkan bebas berkeliling tanpa ada yang mengikuti, tidak pula kamera pengawas. Seolah-olah tak satupun dari mereka yang akan risau jika ada barang hilang atau bahkan koleksinya secara tidak sengaja jatuh tersenggol hingga pecah berkeping lima.
Selain lengang, Museum Kota Makassar juga seperti telah mahir menanak keheningan. Agak terlalu hening sebetulnya. Selama berkeliling, telingaku bahkan bisa mendengar suara detik dari jam tangan sendiri. Udara di dalam ruangan pun terasa lembab, rasanya seperti memasuki rumah tua yang telah ditinggal lama oleh pemilik. Meski terdapat beberapa pendingin ruangan, tapi kehadirannya seolah tembus pandang, tidak terasa sama sekali. Bagi yang menyukai keheningan, maka museum ini akan menjadi rekomendasi teratas untuk dikunjungi.

Setali tiga uang dengan Museum Kota Makassar, museum ke dua yang kudatangi bernama La Galigo, terletak di kawasan benteng Fort Rotterdam. Dulunya, saat dibangun oleh Raja Gowa, lantas beralih pada masa pendudukan Belanda, Fort Rotterdam digunakan sebagai markas pertahanan. Jepang kemudian mengubahnya sebagai pusat kegiatan penelitian ilmu pertanian dan bahasa hingga akhirnya direbut oleh Indonesia dan dijadikan sebagai pusat kebudayaan Sulawesi Selatan. Kini benteng tersebut berfungsi sebagai kantor balai pelestarian peninggalan purbakala Makassar, sebagian ruangannya diperbaiki, dan dijadikan museum.
Penjaganya duduk di atas kursi plastik berwarna hijau, badannya ditekuk ke depan dengan kepala rebah pada tangan yang dilipat di atas meja. Kedatanganku rupanya mengganggu tidur siang perempuan berusia tanggung tersebut. Ia terkejut sambil tampak berusaha keras menutupi rasa kantuk. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia menyuruhku mengisi buku tamu dan membayar uang masuk sebesar 5.000 rupiah. Sebentar saja, setelah perkara administrasi itu selesai, padanya kuucapkan permisi, tentu untuk memberi waktu agar ia bisa meneruskan tidur yang tadi sempat kupenggal.

Entah bagaimana rasanya bekerja menjadi seorang penjaga museum, apalagi yang jarang sekali dikunjungi orang. Waktu pastilah bergerak begitu lambat bagai berjalan di dalam lumpur. Jika mau, perempuan tadi bisa saja bekerja di tempat yang lebih cerah dan lebih menarik. Tapi mengapa ia memilih tempat semuram ini? Penasaranku tidak terjawab, tentu saja. Ia tidak mau diganggu dan aku enggan bertanya. Lagipula ia pasti memiliki alasan sendiri, yang mungkin tak semua orang bisa mengerti.
Walau begitu, setidaknya keadaan La Galigo sedikit lebih baik dari Museum Kota Makassar. Pengunjungnya lebih banyak meski masih bisa kuhitung menggunakan jari di satu tangan saja. Koleksi La Galigo dibagi dalam dua gedung bertingkat yang dipisah oleh sebuah lapangan besar. Pada gedung utara, terdapat maket benteng Fort Rotterdam dan salinan epos La Galigo, lengkap dengan ilustrasi lukisan. Naik ke lantai dua, dipajang berbagai macam senjata perlindungan diri. Mulai dari badik, tombak, keris, hingga senapan. Senjata-senjata itu diletakkan dalam sebuah kotak kaca bersama secarik kertas yang berisi deskripsi singkat soal nama dan asal senjata.

Bangunan sebelah selatan memiliki lebih banyak koleksi. Mulai dari perkakas manusia purba, replika tongkonan, miniatur erong, diorama panggung pernikahan, maket perumahan, dan kapal-kapal tua yang sudah lupa cara melaut, baik yang bercadik maupun tidak. Meski isinya lengkap, tapi satu hal yang menggangguku selama berkeliling adalah peletakan model yang asal dan pencahayaan yang buruk. Ditambah dengan dinding-dinding mengelupas, museum ini lebih terlihat seperti gudang tempat penyimpanan barang-barang tidak terpakai. Aku yakin mereka bisa lebih baik dari ini.
Kuakui, aku memang tidak terlalu sering ke museum, sesekali saja. Jumlah museum yang kudatangi pun masih sangat sedikit. Namun bukan berarti aku tidak bisa menilai mana museum yang akan menarik minat pengunjung dan mana yang tidak. Bisa kusimpulkan dua museum di kota Makassar ini adalah contoh baik untuk kategori tidak berhasil. Mereka seperti mencintai kesunyian dan hendak menjauh dari siapapun.

Sejauh ini aku masih menganggap bahwa keberadaan museum di sebuah kota merupakan sesuatu yang penting. Selain sebagai pengingat, ia juga berfungsi sebagai lorong waktu yang mendekatkan pengunjung pada masa lalu. Namun tampaknya kita memang belum bisa dan belum terbiasa merawat kenangan. Kehadiran museum seakan tidak dibutuhkan. Ia tidak penah menjadi sebuah tujuan, bahkan tidak terlalu disadari keberadaannya. Kadang aku sempat berpikir, semisal keadaan museum di Indonesia terus seperti ini, kenapa tidak sekalian saja memuseumkan semua museum.
Kita mungkin bisa mengelak dan berkilah bahwa bangunannya tidak begitu menarik, suasananya menyeramkan, isinya membosankan, dan sederet alasan lain untuk tidak datang ke museum. Menyoal perkara berbenah pun seperti menanyakan mana yang lebih dulu, ayam atau telur. Apakah museum harus mempercantik diri agar ramai pengunjung, atau pengunjung harus datang dulu agar museum memiliki dana untuk bersolek. Namun bukan tentang itu aku menulis.

Aku ingin agar kecintaan masyarakat pada masa lalu harus terus dipupuk dan museum berfungsi untuk itu. Lupakan saja dulu revolusi jika kita hanya selalu menatap masa depan, tetapi lupa pada sejarah.

19 thoughts on “Dua Museum yang Mencintai Kesunyian”

  1. Sepertinya hampir di setiap tempat museum lebih banyak sepi tanpa pengunjung. Aku juga pernah mengalami sendiri, masuk ke dalam museum sendirian. Dan di dalam sana tidak ada satupun pengunjung lain, yang ada hanya 3 petugas saja.

    1. iya mas, rata-rata museum yang kukunjungi di Indonesia sepi banget
      ada sih beberapa yang rame, cuma yang ngelola pasti swasta
      kalo pemerintah punya nasibnya mengenaskan

  2. Kenapa gak ngajak aku kak supaya ada yg nemenin… hahaha.
    Masih ada satu museum lagi di Makassar yg nasibnya juga sama dengan museum di atas, Museum Karaeng Pattingalloang di Benteng Somba Opu. Semua Museum di Makassar sepi…

    1. Iya sih, kemarin sempat mau main ke Benteng Somba Opu, cuma waktunya mepet banget, jadi ga sempat 😀
      emang domisilimu di mana? Makassar kah?
      waaah, ga tau, hehe.. sorry
      ntar kalo main ke sana lagi kabar-kabar aah 😀

    1. tuh khan, benar khan
      museum sepi kadang jadi pengunjung malas masuk
      lagian suasana museum indonesia rata-rata menyeramkan
      kok ya nganggur kalo masuk sendirian 😀

  3. Ceritanya mirip waktu saya ke museum di Taman Purbakala Sriwijaya. Pengunjung satu-satunya. Dan waktu dateng pun, penjaga museum bingung kaya liat apaan dateng. Lampu juga baru dinyalain waktu saya dateng. Memuseumkan museum… Hmmm..

    1. waaah, iya bang? hwahahaha
      kasian nasib museum di Indonesia
      kalo di Yad Vashem kemarin gimana bang? sepi juga kah?
      tapi meskipun sepi, setidaknya suasana museum di luar lebih nyaman

  4. Sebenarnya ada bagusnya juga kalau pengunjungnya sedikit. Jadi lebih bisa menikmati suasana. Hahaha…

    1. justru kalo pengunjungnya sedikit seharusnya para pengelola museum sudah mulai evaluasi, di mana yang salah
      dari segi pengunjung, emang sih bisa menikmati suasana
      tapi kalau koleksinya sendiri ga informatif, khan ya sama aja

  5. Vredeburg mungkin salah satu museum yang menurutku ramai. Itupun karena didukung lokasinya yang sangat strategis. Meski ramai, tapi akan tampak pengunjung lebih banyak menghabiskan waktu di luar, bukan di dalam ruangan tempat diorama-diorama itu dipajang.

    1. Aku bolak-balek Jogja tapi ga pernah masuk Vredeburg *malu *aib
      hwahahaha
      iyo sih, orang-orang udah terlena sama jalan sepanjang Malioboro
      lupa kalo di sana ada museum 😀
      kalau ada yang masuk pun lebih karena iseng, bukan benar-benar pengen ke museum

      1. lho justru Vredeburg itu cukup ramai dikunjungi karena lokasinya strategis di simpang nol kilometer mas. hahaha.
        tapi kebanyakan cuma duduk duduk sama foto foto di halamannya, nggak bener bener masuk ke ruangannya. padahal ada ruangan yang muter film jaman lama juga. eh ada sih yang masuk ke ruangannya. tapi buat ngadem. wkwkwk

  6. Sudah baca sampai habiiiissss…. suka ceritamu kak yof, aku suka masuk ke museum, keliling-keliling, melihat-lihat, tapi bingung ketika akan menuliskannya hahahaha

    PR besar dinegara kita ini sih,

    1. Hwahahaha, sampai habisnya ga usah disebut kali kak Bob
      ntar dipikir baca tulisan lain ga pernah sampe tuntas 😀
      oya, makasih sanget masukan SEOnya kak
      abis ini berbenah deh 🙂

  7. Miris bacanya, mas. Seorang diri di dalam museum yang luas sampai bisa mendengar bunyi detak jam tangan sendiri, pasti lengang banget ya. Sepertinya warga Makassar dan sekitarnya perlu diajak untuk berkunjung ke museum mereka sendiri nih.

    Aku pernah ke beberapa museum di Jakarta, Bandung, Semarang. Mendadak aku merasa museum-museum itu sudah jauh lebih baik dengan kehadiran pengunjung, meski perawatannya juga tetap kurang.

    1. Iya Nug, lengang banget, nget, nget.. lebih mendekati serem sih. haha
      mana bangunannya bangunan Belanda, pengap. Duh, banyak yang harus dibenahi.
      Ga tau juga ya, mungkin karena arus informasi yang makin pesat, jadi kebutuhan masyarakat akan museum makin berkurang

      Sejauh ini museum paling bagus yang pernah kudatengin museum angkut sih, di Batu (ini yang ngelola swasta)
      Di sana kebalik, suasananya malah terlalu ramai 😀

Leave a Reply