Aku menulis catatan ini sebagian besar di lambung pesawat saat berada dalam perjalanan panjang menuju Taiwan, kemudian disambung lagi saat membelah langit yang terentang di atas samudera Pasifik menuju San Francisco.

Ini adalah perjalanan panjang ke duaku setelah Australia. Mungkin bagi sebagian orang, terkurung dalam perjalanan berbelas jam dengan telepon yang tidak berbunyi dan internet yang tidak lagi bekerja bisa jadi sangat membosankan, seperti penjara. Lagipula tidak ada yang benar-benar bisa dilihat, langit hanya biru jika siang dan legam jika malam. Namun bagiku, dibungkus dalam kotak aluminium yang melayang antara langit dan bumi adalah sebuah kemewahan, saat yang tepat untuk menikmati momen-momen personal tanpa gangguan. Bermeditasi di ketinggian.
Ada banyak hal yang bisa kulakukan mulai dari waktu lepas landas hingga mendarat. Seperti memperhatikan betapa sibuknya pramugari mondar-mandir menawarkan minuman, mengantarkan makanan, atau saat mereka mengingatkan siapapun yang, entah karena sebab apa, selalu saja lupa memasang sabuk pengaman. Di balik banyak stereotipe negatif soal hidup pramugari, bagiku mereka itu, yang menghabiskan banyak waktunya melayang-layang di udara itu, adalah wanita-wanita tangguh yang tetap terjaga ketika penumpang tertidur, yang tetap memberikan wajah terbaik meski harus menghadapi tengiknya perangai penumpang.

Jika bosan mulai datang, aku kadang membolak-balik majalah penerbangan, melihat-lihat katalog produk, menghafalkan tata cara penyelamatan diri jika terjadi kecelakaan, bermain catur dengan mesin, berjalan-jalan di dalam kabin, membelah lorong antara kursi-kursi penumpang, mencuri dengar percakapan orang lain, atau sekadar mengantre kamar mandi di belakang pesawat.

Hiburan lain yang tak kalah menyenangkan adalah ketika sesekali angin menabrak-nabrak pesawat dan menggoncangnya sedikit. Ketika itu terjadi, telingaku berdengung dan jantungku berdetak sedikit lebih kencang. Aku seperti berada di dalam lift yang turun dari ketinggian dua ratus langsung menuju lantai seratus lima puluh. Perihal ini kusebut hiburan karena tidak ada yang terlalu cemas karenanya, kecuali pilot yang segera mengabarkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Bahwa awan yang beranak pinak memang punya tabiat suka menggoda dan semua akan baik-baik saja.

“Apple juice, please” jawabku ketika seorang pramugari berbaju hijau menanyakan apa yang hendak kuminum. Ia mengangguk, kemudian mengisi gelas bening dengan cairan kuning emas dan menyerahkannya padaku sambil tersenyum. Aku sendiri terkejut menemukan bahwa aku yang berada dalam pesawat adalah aku yang berbeda ketika di daratan. Alih-alih kopi, aku meminta sesuatu yang jarang kupesan ketika menginjakkan kaki di tanah. Tidak terlalu buruk rasanya sekali-sekali keluar dari kebiasaan.
Selama terbang, perempuan di sebelah kananku menyumbat telinganya dengan sepasang earphone sambil menghabiskan waktu berlama-lama memandang kaca jendela. Lelaki di sebelah kiriku sudah terputus dari dunia, hilang dibawa mimpi dengan sandaran kursi yang direbahkan sedikit. Aku sendiri duduk di barisan tengah, menggenggam buku Etgar Keret, membaca, menulis, sambil melirik tayangan film dokumenter perihal keindahan Aljazair pada layar selebar satu jengkal yang tertanam di kursi depan.

Aku masih menulis dan kini kau tentu masih sedang membaca, mungkin untuk beberapa paragraf lagi. Barangkali jika catatan ini selesai, aku akan mengecilkan pendingin udara di atas tempat duduk, meluruskan kaki, merapatkan selimut, kembali memesan jus apel, dan meminumnya sambil melamun. Tapi sebelum itu terjadi, aku akan membaca ulang tulisan ini dari awal, sekadar memastikan bahwa apa yang kutulis tidak memiliki kata-kata yang salah eja atau salah menempatkan ‘di’ sebagai kata depan maupun sebagai imbuhan.

Kesalahan-kesalahan tersebut kadang memang kerap terjadi ketika menulis. Namun anehnya kita cenderung abai dan memaklumi, lucu benar. Banyak dari kita yang suka menertawakan orang salah berbahasa Inggris tapi diam jika ada yang salah berbahasa Indonesia. Banyak dari kita yang bangga lancar berucap bahasa asing tapi gagap jika berbicara bahasa sendiri. Menggelikan sekaligus menyedihkan.
Masih ada beberapa jam lagi sampai pesawat benar-benar berhenti. Aku tak tahu pasti berapa lama, waktu benar-benar membingungkan dari atas sini, ia berjalan seperti orang mabuk. Jam tangan menunjukkan pukul satu tengah hari ketika aku berangkat dari Indonesia dan dijadwalkan akan sampai di San Francisco pukul tujuh petang pada hari yang sama, sedangkan total waktu yang ditempuh adalah 18 jam perjalanan. Tidak masuk akal. Aku seperti bergerak ke masa lalu dengan detik-detik yang berhamburan, seperti terjebak dalam limbo yang tak berkesudahan.

Pesawat masih terbang, dan aku masih menulis.

34 thoughts on “Di Dalam Pesawat”

  1. 18 jam di dalam pesawat?
    Kalau aku palingan sudah mati gaya bingung mau ngapain. Belum lagi klo kena turbulensi berkali2. Pastinya pengin cepet2 nginjek daratan

  2. 18 Jam, lama bagi yang merasa menunggu dan terlalu cepat bagi yang terlelap dalam mimpi. Selama ini belum pernah ke LN, jadi harus buku kalau perjalanan jauh. Dan mencatat apa yang terjadi selama itu menjadi hal yang menyenangkan.

  3. kalau aku 18 jam pasti mati gaya tapi menumpuk ide. kalo sudah long trip laptop wajib saya bawa.. utk menumpahkan ide dan ngedit2 video gitu deh…. salam..dan mampir ke blog saya juga yaa…

    1. waaah, aku masih belum bisa ngedit video, hehehe
      tapi aga ribet juga kayanya mas kalo harus keluar-keluarin laptop
      aku lebih prefer nonton film yang ada di kursi depan deh 😀

  4. Catatan ‘penerbangan’ yang menyenangkan untuk dibaca, meskipun bercerita tentang apa yang dilakukan selama 18 jam perjalanan, tapi asik rasanya membaca susunan kalimat-kalimatmu.

    18 jam penerbangan? Duh, gak kebayang bosennya kaya apa. Tapi aku rasa pesawat-pesawat dengan rute-rute panjang pasti sudah didesain juga supaya mendukung kenyamanan penumpangnya ya. Banyak pilihan kegiatan yang bisa dilakukan, paling tidak in-flight-entertainment nya beragam lah. Dan makan minum lebih sering tentunya 🙂

    1. kalau bosennya udah mentok, aku paling juga ikutan tidur kak, hehehe
      tapi emang sih, pesawatnya besar banget, bisa keliling-keliling
      fasilitasnya juga bagus, nyaman buat tidur, hiburan lengkap
      dan, aku baru nonton film ‘Moana’ waktu di pesawat loh, hehehe
      dulu ga sempat ke bioskop 😀

      1. Kalau pesawatnya besar sih enak banget. Apalagi kalau misalnya pakai A380 yang ada mall nya itu ya? Hehehe … Soalnya aku termasuk orang yang pembosan kalau harus berdiam diri lama di atas kursi.

        Aku malah belum sempat nonton Moana bang 😀

        1. waduuuh, aku ga tau tipe-tipe pesawat kak
          harus belajar dan mulai baca-baca nih
          khan lumayan buat nambah pengetahuan 😀
          kak Bart detail kalo ceritain masalah pesawat

          1. Sama bang, aku juga baca-baca soal itu. Dan kebetulan ada teman juga yang ‘penggemar’ pesawat komersial, jadi sering dapat cerita dari dia.

    1. waaah, mulai sekarang harus belajar tidur di mana aja ni mas
      penting itu soalnya 😀
      coba kalau 3 hari ga nemu penginapan, pindah-pindah kota
      kesempatan tidur cuma di dalam bis, khan jadi susah 😀

Leave a Reply