Apa yang pertama kali terlintas di kepala jika mendengar kata liburan? apakah berlarian di pasir pantai Kuta Bali?, menikmati sunset diselingi riuhnya pesta Pulau Gili Trawangan? melihat sunrise di ketinggian Gunung Semeru? menyelam bersama paus di Teluk Cendrawasih? atau bercengkrama dengan penduduk suku Waerebo dan Mentawai? tentunya semua akan membicarakan berbagai aktivitas menyenangkan yang dapat membuat lupa akan ketegangan urat syaraf dari tekanan hidup monoton keseharian.

Apa yang aku, kamu dan kita semua cari jika mengunjungi suatu tempat wisata? pemandangan menawan? mengecap kuliner yang memuaskan? bersantai dengan suasana berkesan? menaklukkan tantangan? semuanya juga masih berkutat pada pemuasan nafsu akan pengalaman tak terlupakan yang dapat dibanggakan pada kawan, rekan maupun teman seangkatan.

Pernahkah terbesit untuk menikmati suatu tempat destinasi dengan cara yang sedikit berbeda? melihat lebih dalam, merasakan kehidupan masyarakat lebih dekat, membaur dengan sesama lebih lekat dan merasakan atmosfir kehidupan apa adanya. Mari ku ajak kalian berkeliling di kilometer nol Kota Malang, mengerti kota dengan cara yang lebih membumi, bersosialisasi dengan pribumi tanpa topeng, melihat wajah sebernanya suatu obyek wisata. Ikuti aku bergerak, keluar dari zona nyaman, tinggalkan kendaraan, ku ajak engkau berjalan kaki melawan terik matahari.
3Mungkin di dalam mobil yang memadati ruas jalan, dengan kaca yang sedikit gelap dan bergerak sedikit kencang, kehidupan di luar sana hanya akan terlewat dengan cepat dan nampak sebagai dunia yang kabur. Ruang kedap dengan Air Conditioner sepoi sepoi ini mampu membuat siapapun terperangkap ke dalam dunia sendiri. Apalagi dengan bantuan berbagai jaringan media sosial dari gadged yang serba canggih, membuat kita lupa dengan degup jantung yang berdetak di sekitar.

Mari kita sedikit melongok keluar jendela, membuka pintu, atau bahkan turun dari mobil dan mulai berjalan kaki. Sebuah laku mendasar untuk mendalami suatu destinasi. Para pejalan kaki adalah penghuni sebenarnya dari kota. Memang, keluar dari selubung yang “aman” kita akan diterjang oleh udara yang panas, bau menyengat dari tumpukan sampah, debu dan polusi timbal dari knalpot kendaraan bermotor, bisingnya klakson yang tak sabar, riuhnya spanduk dan papan-papan iklan raksasa, resiko menjadi korban kecelakaan lalu lintas maupun tindakan kriminal, dan ketidaknyamanan lain.
4 5Namun berhimpitan dengan itu semua, kita akan melihat wajah-wajah yang nyata, sebuah realita yang sebenarnya. Wajah-wajah dengan bau keringat dari perjuangan mempertahankan hidup. Wajah-wajah lelah namun penuh harap orang-orang yang bekerja selepas senja. Dengan mata yang percaya bahwa besok bisa lebih baik. Ritme dan energi yang terbentang sepanjang jalan mungkin sekali tak pernah terlihat oleh manusia manusia yang hidup serba berkecukupan. Oleh manusia yang bosan, walaupun hidup sudah berkelimpahan uang.

Berjalan kaki mengembalikan kita pada perasaan senasib dengan manusia lain. Mengembalikan rasa kebersamaan yang mulai hilang dalam kehidupan sehari-hari. Seperti melayangkan senyum tanpa perlu kenal, menganggukan kepala, berucap kata permisi, atau mungkin sekedar sapaan ringan: “Mari Bu, mari Pak”, menumbuhkan kembali kepedulian kepada orang lain, memperluas ruang personal dan membaginya dengan komunal. Dan yang lebih penting, ia mengembalikan empati di dunia yang makin tak peduli.
2 1Di tengah alun alun kota Malang yang menjadi titik kilometer nol, kontras dengan keeelokan taman kotanya, kita bisa melihat berbagai ratapan sendu dari seorang bocah kecil yang berbaring meringkuk di trotoar. Kehidupan yang keras tergambar di wajah mereka yang menua jauh lebih cepat daripada seharusnya. Rambut yang kekuningan lusuh lama tak tercelup air, matanya yang bulat besar menatap berpasang kaki yang terus melangkah tak henti. Arus manusia tetap saja lalu lalang tak punya waktu untuk memperhatikan sosok mungil yang merintangi jalan. Sesekali uang receh yang bahkan tak cukup untuk membeli roti dilempar ke wajah kusam itu. Si bocah segera mengambilnya. Tampak geligi mungilnya merekah. Senyum tulus berkembang dari bibirnya bergelut dengan debu jalan. Mungkin untuk sekedar menghibur perutnya yang meraung lapar.

Di bagian lain mungkin juga akan kita temukan sosok pemulung yang mencari harta karun di tumpukan tempat sampah, anak muda yang merayap kesana kemari menjadi pengemis yang begitu agresif menarik baju setiap orang yang lewat. Ada lagi yang sengaja mempertontonkan betis dan lengannya yang teramputasi, terbaring di atas aspal yang panas, berusaha menggugah iba setiap orang yang lewat. Ada sebagian mereka tertidur pulas dibawah naungan bayangan pohon Trembesi. Acuh dengan carut marut kota lelap dibawa mimpi, lupa jika tak lagi punya rumah. Di pojok sana duduk seorang tua yang harusnya merasakan sisa umur duduk nyaman dikursi goyang tanpa lagi bergelut dengan kerasnya nasib. Dimana-mana mereka akan terlihat, kaum proletar yang tersisih di segelintir sudut kota besar.
8 7 6Bagiku begitulah esensi dari perjalanan. Bukan tentang jauhnya langkah kaki, namun seberapa bisa kita menyerap semua cerita mulai dari titik Nadir terendah sampai puncak tertinggi Zenith. Melihat lebih luas tak hanya membingkai foto indah, namun juga merangkul semua kekurangan yang terdapat di sekelilingnya. Membantu walau sedikit, berbagi kisah walau sekelumit. Mengingat kembali tujuan kita berjalan di muka bumi, belajar kembali menjadi manusia.

Jika engkau mengatupkan mata, apakah anak kecil di luar jendela mobil itu akan berhenti meminta-minta?
Apakah suara seraknya akan hilang tak terdengar?
Akankah bayi yang digendongnya berhenti menangis?
Mungkinkah dia akan menjauh lalu pulang ke rumah?
Pernahkah engkau bertanya sudahkah mereka makan?
Akankah uang yang mereka terima akan masuk kantong mereka atau disetor ke preman dewasa?
Apakah mata mereka takkan lagi keruh, Senyum mereka terkembang?
Kurasa tidak..
9

20 thoughts on “Berjalan Di Kilometer Nol Kota Malang”

  1. Ya, itulah realitas yang terjadi dimasyarakat sekarang…Ada yang bilang mereka sampah masyarakat, pemalas, penipu dll..tapi percaya aja gan, di hati terdalam mereka sebenarnya terpaksa memilih jalan seperti itu…

    Terima kasih sudah mau berbagi cerita bro, salam blogger…

    1. mokasih bang, haha, ondeeehhh, caliak-caliak blog bang jadi taragak pulang kampuang wak dek nyo 😀
      salam untuk ranah minang bang, lama saya tak pulang

  2. Sampe sekarang, salah satu tempat nongkrong favorit saya di Jogja ya titik nol km. Di sini saya bisa melihat Jogja secara utuh. Mulai dari hiruk pikuknya, abdi dalem dengan pakaian lengkap yang melaju menggunakan sepeda kumbang, ibu-ibu penjual bunga, pengamen, turis, semua ada disini. Tak lupa juga beragam event budaya yang cihuy hingga aksi-aksi mahasiswa yang menuntut ini itu. Nongkrong di nol km selalu seru 🙂

    1. benar sekali, ketika kita berada di titik pusat. pandangan akan terbuka tiga ratus enam puluh derajat, silahkan mau menoleh ke sudut mana, bebas.
      begitulah kilometer nol. punya nilai lebih jika mau sedikit jeli

  3. Very cool indeed. Not only you have a good camera, you also have a pair of good eye. But then again, it is always the latter that matters the most, isnt it? Nice catch!

    1. honestly i don’t have any great camera by the way, i catch them by my pocket 🙂
      but thank to god who gave me pair of good eyes to look deeper than anyone else
      thanks for visiting anyway, feels like home

  4. pernah tinggal di malang selama 3 taun dan emang kenyataannya makin kesini makin banyak pengemis dan gelandangan di alun-alun Malang.

    Awanya saya berpikir ada yg istimewa di tulisan ini.
    tapi abis baca kok malah jadi sedih gini.

    btw, salam kenal om.
    blognya bagu buat bacaan travelling

    1. salam kenal juga ga (what should i call you?)
      hehe, semua orang berinterprestasi dengan pengalaman yang dibawa masing2
      dan akan merespon tulisan ini dengan cara yang berbeda pula
      makasih uda mampir
      saya masih terus belajar memperbaiki tulisan
      🙂

  5. sangat menginspirasi
    Kadang kita terlalu sibuk dengan diri sendiri hingga lupa dengan sekeliling kita
    dan disini saya belajar memaknai kehidupan lewat tulisan
    jalinan kata-katanya indah sekali

    1. benar, berjalanlah lebih lambat ketika berkeliling suatu tempat
      sempatkan membuka mata barang sebentar
      maka kehidupan yang sebenar-benarnya akan terlihat 🙂

Leave a Reply