Sebelum tiba di Belitung, aku sudah tahu hendak menuliskan apa, pulau dengan jejeran pantai putih, serakan batu granit sebesar rumah, bekas galian tambang timah, dan tentu saja laskar pelangi, novel yang menyorakkan nama Belitung tidak hanya pada Indonesia, namun juga pada dunia. Tema-tema tersebut jamak dituturkan ulang, bedanya cuma pada bahasa penyampaian dan sudut pandang yang digeser sedikit. Seolah hal-hal demikian telah menjadi identitas Belitung, melekat erat, dan mustahil dilepaskan.

Tentu saja aku tak menampik bahwa perkenalan pertamaku dengan Belitung juga karena Andrea Hirata. Ia mampu membuat orang bersimpati pada kisah sepuluh anak pulau yang haus pendidikan dan tak menyerah pada keterbatasan. Terlebih saat filmnya muncul ke layar lebar, semua mata sontak menyadari keindahan Belitung. Orang-orang berdatangan, operator tour tumbuh subur, dan titik-titik wisata mulai dipetakan. Laskar pelangi bagai mengubah nasib pulau tersebut dalam semalam. Meski saat kudatangi kisah laskar pelangi sudah lama pudar, namun kenangannya masih menyala sepanas matahari.

Aku mulai perjalanan ini dengan memacu motor sewaan melintasi aspal mulus dari Tanjong Pandan ke arah Gantong. Aspalnya kelewat mulus sehingga motor dapat kupacu sampai kecepatan seratus lebih, hal yang muskil kulakukan di Jakarta saat malam sekalipun. Barangkali, ini salah satu bentuk konsistensi pemerintah dalam menjaga roda pariwisata. Infrastruktur dirawat, kisah-kisah mengharukan Ikal dan teman-temannya dipelihara. Dan bagai menolak dilupakan, destinasi baru terus dihidupkan untuk menarik orang agar tetap ke Belitung.

Selama perjalanan tak banyak yang dapat dilihat selain perkebunan lada dan sawit, dua komoditas perkebunan yang berperan besar mengatrol perekonomian Belitung. Jalanan lengang, kawasan permukiman baru terlihat ketika memasuki kawasan Gantong. Di daerah inilah Ikal tumbuh dan dibesarkan, aku langsung merasa akrab meski baru pertama kali mengunjungi Belitung. Terlebih semua hal rasa-rasanya bernapas laskar pelangi, mulai dari nama jalan, spanduk, hingga bangunan. Seolah-olah daerah ini memang diciptakan hanya untuk menghidupkan novel tersebut.
Kuteruskan jalan sampai kemudian berhenti di sebuah bangunan tua. SD Muhammadiah yang begitu terkenal itu. Meski hanya replika, tapi kondisinya cukup layak dalam menggambarkan keadaan yang diceritakan Ikal dalam novelnya. Setidaknya sekolah ini persis dengan apa yang terlihat di dalam film. Kusen pintunya miring, dindingnya lapuk, dan seluruh bangunan doyong seolah akan roboh. Tidak ada hal yang benar-benar bisa menunjukkan bahwa bangunan ini adalah sekolah, kecuali tiang bendera, plang nama, dan lonceng yang hanya berupa besi berkarat, lain dari itu tidak.
Andrea Hirata pernah menyebut bahwa Belitung adalah pulau di mana harga timah segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding harga padi segantang. Tak ada yang membahagiakan kecuali mimpi, dan di sekolah inilah murid-murid laskar pelangi menanam, merawat, pun menjaga mimpi tersebut. Setiap orang yang bersekolah di kota boleh saja menyebut bangunan ini sebagai gubuk kayu, namun bagi para muridnya, bangunan ini merupakan pemutus rantai kemiskinan, agar tak lagi bekerja menjadi kuli di pasar pagi atau keramba.

Aku berputar melihat isi kelasnya satu-satu. Hanya ada dua kelas saja di sini, berbeda dari apa yang diceritakan Andrea dalam novelnya, yaitu 6 kelas yang akan digunakan bergantian dengan murid SMP Muhammadiah, meski keadaannya tak lebih baik. Di dalam setiap kelas terdapat enam meja belajar, satu papan tulis, dan satu tiang bendera. Jangankan foto presiden dan wakilnya, burung garudapun tak terlihat bercokol di dalam kelas. Satu-satunya tempelan yang terdapat di dinding hanyalah lirik lagu laskar pelangi yang dilantunkan oleh Nidji.
Jika ini adalah sekolah asli, tentu aku akan langsung bersimpati dan mengutuk keadaan. Namun ini semua hanyalah gimik, hanyalah kemasan agar orang berbondong-bondong datang ke Belitung untuk kemudian menyadari betapa beruntungnya mereka tinggal di kota besar. Gimik-gimik pariwisata inilah yang banyak kujumpai di Belitung. Sebut saja kawasan tambang timah satu di antaranya. Lubang-lubang bekas galian dijadikan tempat untuk berswafoto. Ironi memang, namun cukup membuktikan bahwa tambang bukan merupakan janji yang langgeng di Indonesia.

Sejarah penambangan timah di Belitung sebenarnya dapat kita tarik jauh hingga tahun 1860. Billiton Maatschappij alias Maskapai Belitung telah mengendalikan tambang-tambang timah dan mendominasi sejarah Belitung selama seabad, sampai dibubarkan dan aset-asetnya diambil alih oleh Indonesia pada 1958. Kala itu Indonesia bahkan bisa memasok 70 hingga 80 persen kebutuhan timah dunia, dan sebagian besar timah Indonesia itu berasal dari Provinsi Bangka Belitung.

Setelah Perang Dunia I, harga timah dunia anjlok. Banyak buruh yang dirumahkan, lebih dari lima ribu bekas penambang impor minta dikembalikan ke negaranya. Kini industri tambang timah di Belitung lesu. Tidak ada lagi sirene saban pagi dan sore, tak ada lagi truk hilir mudik mengangkut hasil tambang meski lubang-lubang beracun bekas galian masih menganga menghadap langit. Belitung kembali menjadi senyap, sama seperti sebelum Billiton Maatschappij datang bertandang.

Timah memang seakan tak pernah habis dari Belitung, namun mineral itu kini tidak lagi berada di permukaan. Butuh modal besar jika ingin mengeruknya dalam skala besar. Pemerintah kemudian memutar otak, Belitung menukar arah haluan: dari kota tambang yang menyerap buruh, menjadi kota wisata yang mengundang turis. Itulah mengapa kini gimik lubang galian berwarna toska dipenuhi oleh orang-orang yang penasaran. Mereka datang, diam sebentar, lalu pulang dengan cerita di kepala. Sedang Belitung tetap begitu adanya. Berharap kejayaan masa lalu dapat kembali terulang.

17 thoughts on “Belitung dan Rentetan Gimik Pariwisata”

  1. Fotonya kece selalu. Sayang di daerah masih banyak juga sekolah dengan kondisi seperti itu. Mudah-mudah negara kita semakin berkembang dan bisa memfasilitasi sarana pendidikan lebih baik.

Leave a Reply