Apa kabarmu kawan pejalan? Lama kita tak bertegur sapa, masihkah kakimu melangkah di setiap jengkal tanah nusantara? Sini duduk sebentar, aku ingin sedikit berbagi. Kali ini aku takkan bercerita mengenai indahnya Indonesia, namun tentang beberapa makna yang sarat kudapat ketika berkunjung di sudut terpencil negeri. Mari kita berbincang tentang masyarakat melayu laut di salah satu pulau garda depan garis terluar Indonesia, Pulau Subi.
dermagaCerita ini berawal dari dua belas jam terombang ambing Laut Cina Selatan yang gemar menderukan buih asin. Debur masih berupa amuk, kakiku masih tertekuk, badanku lebih ringkuk memeluk lutut. Aku sedang berada di atas kapal yang tak biasa, kusebut begitu karena seminggu waktu harus rela dibunuh untuk menaikinya. Benar, transportasi ke pulau Subi dari pulau Natuna hanya tersedia sekali dalam delapan hari. Tak heran jika sekali melayar, ratusan penumpang beradu sesak.
kapalDitengah riuh keluh penumpang yang saling berhimpitan, seorang lelaki melayu laut berkulit gelap tersenyum dan bertanya kepadaku, “Nak kemana bang?” Kehidupan yang keras terlihat dari garis wajahnya. Pengalaman menjadikannya terlihat lebih tua, padahal belakangan kutahu dia bahkan jauh lebih muda dariku. Tak perlu waktu lama bagi kita untuk saling kenal, tawa saling beradu, entah milik siapa. Sebagai sesama asing, tak terasa ada canggung bercerita asal usul. Bahkan tak perlu bersalaman untuk sekedar berbagi rokok.

“Panggil awak Jay” dia berucap dengan nada melayu yang kental. “Awak dari Tanjung Pinang nak ke Serasan bang, sama teman berlima, kita mau buat acara joget.”
Acara joget yang dimaksud Jay adalah cara masyarakat melayu pulau untuk menyebut dangdutan. Jay diundang ke pulau Serasan sebagai salah satu pengisi acara. Sungguh unik penyebutan yang mereka berikan, dari bahasanya saja kita bisa menyimpulkan bahwa aktivitas yang dilakukan adalah bergerak sambil sesekali mengikuti lantunan lagu yang dibawakan jikalau hafal. Tentu saling senggol merupakan hal yang lumrah terjadi tanpa harus ada emosi.

“Disini beda dengan Jawa bang, kita ndak pernah ribut, heran awak liat di tipi mereka bisa pukul-pukulan kalau ada joget, padahal cuma kena senggol sikit”
Kata-kata yang begitu sederhana dari seorang masyarakat terpencil yang juga sederhana, namun terdapat segumpal bijak melebur di dalamnya. Membuatku sadar bahwa sebenarnya cara pandang terhadap sesuatu bisa sangat mempengaruhi cara berperilaku.

Kita melanjutkan percakapan, “Serasan itu kecil bang, sebentar saja putar-putar sudah hafal semua jalan. Abang mau ke luar negeri juga mudah, enam jam saja sudah sampai di Semantan, Malaysia. Ndak heran kalau disana kadang kita juga pakai Ringgit”
Mendengarnya saja membuatku kehabisan kata-kata, memang pernah kubaca tentang beberapa daerah perbatasan yang menggunakan Ringgit sebagai salah satu mata uang, namun tak pernah kusangka fenomena itu begitu dekat denganku sekarang.

Kita tak bisa saling menyalahkan. Ketika merdeka masih terdapat di ujung lidah, nasionalisme harus rela mengalah. Negara tetangga nyata lebih memanusiakan mereka. Selain nilai tukar yang lebih besar, Negeri Jiran tersebut juga berjasa dalam membangun infrastruktur dan meningkatkan perekonomian. Tak heran jika Ringgit diterima dengan begitu mudah. Mungkin pemerintah akan mulai memperhatikan jika pencaplokan pulau kembali terjadi. Kadang kita tak pernah bisa menghargai apa yang ada hingga itu menjadi tiada. Sekali lagi, perjalanan seperti ini mengajariku bahwa tanggung jawab membangun negeri itu berat.

“Mampirlah kalau abang punya waktu, nanti semua urusan di Serasan biar aku yang tanggung, tak usahlah bingung makan dan tidur, kita sesama Melayu, hidup di rantau sudah biasa saling bantu.”
Aku masih diam dengan gagap yang tak pernah beranjak, seorang yang baru dikenal dalam hitungan beberapa jam begitu ramah dengan sesama. Tak perlu hitung hitungan jasa, tak perlu memikirkan entah kamu siapa. Cuma butuh rasa saling menghargai. Lagi-lagi, sesuatu yang telah banyak hilang dari kehidupan sehari-hari. Jangan-jangan rasa tersebut memang hanya bisa hidup di tempat-tempat tertentu, yang tak mengenal individualisme kota?
pompongMalam bergegas pergi, selapis demi selapis gelap meninggalkan langit. Kubah biru besar terbuka dengan sumbu yang menyala ditengahnya. Pagi menyapa pelan, Subi terlihat di kejauhan. Beberapa Pompong mendekat karena ternyata kapal tak berani merapat ke tepi darat. Perairan disekitar sini yang begitu dangkal membuat kapal besar tak berhenti di dermaga. Semua penumpang yang hendak ke Subi harus turun dan pindah ke perahu yang lebih kecil. Sedangkan kapal akan meneruskan jalan ke Serasan sampai Kalimantan. Setelah berucap pamit dengan Jay, aku melompat ke dalam Pompong, siap menemu makna pada lembar berikutnya.
pomponglagi

7 thoughts on “Belajar Menemu Makna di Subi Besar (Part 1)”

  1. Baru pertama kali ini saya baca tulisanmu yang pakai dialog. di kritik sedikit ya (harapannya saya juga dikritik di tulisan-tulisan saya)

    Judul : Belajar Menemu Makna Di Subi Besar

    agak ganjil ya kata Menemu. Kok nggak pakai Menemukan? Kalau memang biar nggak terlalu meinstream sama judul-judul “menemukan” yang lain di tulisan traveling yang sudah banyak bertebaran di media. nggak usah dipakai saja. Di atas Kapal menuju Subi Besar mungkin bisa, atau terserah kreatifitas penulis saja he he he.

    ini kan cerita pakai dialog. di atas kapal. cuma itu kan? jujur, saya lihat tulisa-tulisan Yofangga sebelum-sebelumnya memang ditujukan untuk pembaca atau traveler “cerdas”, nggak menuutup kemungkinan traveler dan pembaca awam juga hadir di sini. tapi alangkah baiknya kalau keterangan di setiap dialog dikurangi, kalau bisa hilang sama sekali tambah bagus. pembaca yang sudah cerdas merasa tidak digurui, pembaca awam yang lain pun bisa menikmati alur cerita. intinya, setiap dialog itu kuat, tanpa harus perlu ditambahi keterangan panjang lagi. kesan saya membaca tulisan kali ini. kurang diolah/dieksplor dialognya, penggambaran suasana kurang mendukung, belum total mau ninggalin style narative yang selama ini kamu pakai ngga. keep writing and learning. mampir ke tempat saya bro sekali-sekali he he he

    1. haha, iya nih dah, pertama kali pake bahasa dialog, masih belajar, biar agak beda sama tulisan sebelumnya
      hhhmmm, kalo masalah judul, ada kok kata “menemu” tapi emang jarang dipake, jadi gak banyak yg tau
      tapi untuk susunan kalimatnya bener kok 🙂
      kalo soal dialog, emang masih harus diolah lagi
      namanya juga baru belajar, masi banyak kurangnya
      masi kebawa style yg dulu
      hehe 🙂
      makasi uda mampir dan
      siap, ntar mampir2 juga

Leave a Reply