Motor yang kami tumpangi terus bergerak ke utara menjauhi Kapan, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pelan saja, sebab tak mungkin menipu batas kecepatan yang setia dijaga oleh kerikil dan aspal rusak. Selain itu, kontur tanah yang kami lewati juga semakin lama semakin menanjak, semakin tinggi menjemput matahari. Kasihan jika harus memaksanya mendaki sambil berlari. Terakhir, dan yang paling berhasil membuat perjalanan ini begitu lambat adalah kulitku yang sudah mati rasa. Jemariku mulai kaku memutar panel gas, dingin sekali, tampaknya di ketinggian seperti ini, angin gunung gemar bermain-main sambil meniupkan bunga-bunga es.fatuKami, maksudku aku dan Halim sedang dalam perjalanan ke desa Fatumnasi, sebuah desa yang terletak di kaki gunung Mutis. Karena tersohor oleh kecantikannya, sebagian orang kadang senang menjuluki desa itu dengan sebutan “Alpen Van Timor”, sebagian lain bahkan tak segan-segan memberi nama “Little Scotland”. Aku sendiri secara pribadi, lebih senang dengan Fatumnasi. Ya, Fatumnasi saja, tanpa ada embel apa-apa.
jalan-fatumnasiSetelah dua jam berkendara melewati luasnya padang rumput, lalu padang rumput, lalu padang rumput lagi, kami akhirnya disambut oleh biru yang begitu langit dan hijau yang begitu bumi. Warna-warna itu menjelma Pohon cemara yang berbaris rapi bagai pasukan di medan laga, genderang perangnya adalah suara serangga hutan yang sesekali terdengar. Belum jika ditambah dengan kehadiran Kayu Putih, semak Murbei dan kembang Gladiol, suasana pagi ini tiba-tiba menjadi begitu semarak. Aku sumringah, senyumku merekah, tak sabar ingin segera sampai.
fatumnasi kembangJalanan sepi itu masih terus berkelok-kelok. Tak banyak kendaraan yang kami temui, satu dua saja, itupun motor penduduk yang sedang membawa kayu bakar. Setiap kali berpapasan dengan kendaraan lain, ada tegur sapa yang saling bertukar. Ramah, penduduknya ramah sekali. Perjalanan ini tidak hanya memberikanku kekaguman-kekaguman baru, tapi juga perenungan-perenungan baru. Mengajarkan bahwa ternyata manusia, entah berada di balik gunung sekalipun, pada dasarnya sama, butuh akan atensi dan kehangatan orang lain.
lopo-mutis30 menit lagi habis sebelum akhirnya kami tiba di depan sebuah penginapan bertuliskan “Homestay dan pusat informasi Lopo Mutis”. Kami lalu disambut oleh perempuan berambut keriting yang dibiarkan terurai. Mama Yuliana Fuka, begitu dia memperkenalkan diri. Mama sedang menyapu halaman ketika kami datang.

“Mau mencari bapak? Tunggu sebentar, bapak masih ada di gereja.” Ucap mama sambil mengikat rambutnya yang kering karena terlalu sering disapu angin dan dijerang terik matahari pegunungan. Seolah sudah hafal dengan ritual penerimaan tamu, mama lalu menyiapkan kursi dan menyuruh kami duduk di pelataran rumah yang mungkin biasa dijadikan area berkumpul. Pelataran itu berisikan meja-meja melingkar dengan kursi terselip di antaranya. Beberapa foto dipaku di kolom-kolom kayu, di sana juga tergantung beberapa tenunan khas pulau Timor yang berwarna cerah.
yuliana-fuka tenun-tiimorSetelah menyiapkan minuman, mama lalu undur diri untuk meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Kami kemudian ditemani oleh Stephan, salah satu anak laki-laki Mateos Anin. “Bapak adalah generasi ke sebelas suku Anin Fuka, klan asli kampung sini”. Ucapnya membuka percakapan. Darinya kemudian aku tahu bahwa Mateos Anin, bapaknya, sosok yang hendak kutemui, adalah orang yang sangat berpengaruh di Fatumnasi. Pembicaraan kami pun mengalir dari satu topik ke topik lain.

Stephan bercerita bahwa alam adalah apa yang tidak bisa dipisahkan dari mereka, seperti aroma garam pada geladak kapal. “Batu adalah tulang, tanah adalah daging, dan air,” katanya kemudian, “adalah darah yang mengalir memberi kehidupan. Jika ada yang coba-coba merusak, kita tak akan tinggal diam. Dulu pernah ada perusahaan yang mau menambang batu marmer di Fatumnasi, kita tak kasih izin.” Terang sudah di kepalaku soal batu-batu berkilau kehijauan yang jamak terserak jadi aspal Fatumnasi, itu bukan batu sembarang, melainkan marmer bernilai tinggi.
tambang-fatumnasiAdalah Mama Aleta Baun yang memimpin masyarakat melawan perusahaan tambang tujuh belas tahun silam. Sebagaimana perjuangan, usaha mama Aleta bukan tanpa resiko. Berkali-kali dia bertaruh nyawa menghadapi para pembunuh bayaran, tapi Mama Aleta bersama seratus lima puluh wanita pemberani lain adalah Joan of Arc, tidak tumbang begitu saja. Tahun 2010 adalah tahun yang membayar segala perjuangan, empat lokasi tambang di wilayah Mollo berhasil direbut kembali. Hutan adalah jati diri, selain menjadi sumber tanaman obat-obatan, di sana pula masyarakat mendapatkan zat pewarna benang yang diperlukan untuk menenun kain Timor. Merusak hutan, sama saja dengan menyakiti kehidupan.

Stephan juga bercerita tentang kebiasaan masyarakat Fatumnasi memanen madu hutan. “Jika lebah-lebah itu datang, langit jadi hitam dibuatnya.” Madu adalah salah satu penggerak ekonomi dan penopang kehidupan masyarakat desa Fatumnasi, selain ternak dan hasil pertanian, tentu saja.

“Setelah ini, sambil menunggu bapak, main-mainlah ke gunung Mutis” Ucapnya sambil mengarahkan telunjuk ke belakang rumah. “Tidak jauh, bisa jalan saja kalau dari sini.” Kami pun menganggukkan kepala.
gunung-mutis lopo-fatumnasiDan begitulah adanya, kini aku dan Halim berada di pintu gerbang kawasan cagar alam gunung Mutis. Matahari sudah setinggi penggalah, tapi dingin masih terasa, jadilah aku berjalan sambil meniup dan mengusap-ngusapkan tangan, telapak kanan ke telapak kiri, begitu juga sebaliknya. Di kejauhan terdengar riuh punai bernyanyi.

Aku sedang memperhatikan bonsai-bonsai pohon Ampupu saat menyadari ada sekumpulan kuda tanpa tali kekang berlarian sepuluh meter dari tempatku berdiri. Memang kuda-kuda itu tidak sebesar kuda perang troya, tidak pula segagah kavaleri pasukan Gengis Khan, tapi ada yang memikat dari mereka. Kuda-kuda itu lepas dan bebas, tidak bertuan dan menuankan siapapun. Tanpa tunggu waktu lama langsung kusiapkan kamera. Kuputar tombol kecepatan untuk mengatur terang gambar sambil sesekali memencet shutter. Cantik betul, dibasuh garis matahari, surai mereka berkilau keemasan.
kuda-mutis kuda-fatumnasiEntah berapa jam waktu yang kami habiskan di gunung mutis sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali. Sesampainya di Lopo Mutis, papa Mateos Anin ternyata sudah menunggu. Kami disambut dengan senyum hangat dan jabatan tangan erat. Papa lalu memberi aba-aba untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah.

Rumah yang kami masuki itu adalah lopo berbentuk bundar tanpa jendela dengan bentangan selebar enam meter dan bumbungan yang mengerucut. Beragam perkakas seperti piring, gelas, sendok, dan garpu tergantung begitu saja di dinding bambu yang mulai menghitam karena jelaga. Sebagaimana biasanya rumah-rumah tradisional lain nusantara, dapur memang kerapkali menjadi satu ruangan dengan tempat tidur dan ruang keluarga. Terlebih dengan udara malam Fatumnasi yang menggigit, pembagian ruangan seperti ini sangat efektif untuk menghangatkan diri. Di sini mereka memasak, di sini pula mereka berkumpul dan beristirahat, sangat sederhana, bila tak ingin disebut seadanya.
mateos-aninDi dalam rumah, papa Mateos Anin langsung berganti pakaian. Kini lelaki berperawakan sekitar 160 sentimeter itu sudah siap dengan baju kebesarannya, rompi merah dengan penutup kepala yang juga merah. Tanpa diminta, papa kemudian bercerita tentang Fatumnasi. Tentang sejarahnya, tentang bahasanya, tentang alam, juga tentang masyarakat yang hidup di dalamnya. Tak seperti dugaanku, papa ternyata memiliki kemampuan berbicara yang sulit dibendung. Umurnya boleh saja beranjak tua dan renta, tapi semangatnya meluap-luap, kharismanya luar biasa. Saat ini Papa masih menjabat sebagai ketua adat dan juru kunci gunung Mutis. Tidak ada satupun keputusan yang dibuat penduduk Fatumnasi tanpa persetujuan dari beliau, masyarakat hormat belaka kepadanya.
lopo-mateos-aninDi sela-sela percakapan, kuberanikan diri untuk memotong dengan mengajukan beberapa pertanyaan, apakah tidak lelah jika harus tetap memikirkan masyarakat di usia yang sudah tidak lagi muda? Apakah tidak ada orang lain yang mampu menggantikan posisi seorang Mateos Anin?

Papa lalu tersenyum dan mengangguk-angguk sebelum akhirnya berkata bahwa menjadi seorang Ketua adat bukan merupakan sebuah pekerjaan, melainkan sebuah amanat yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lain, turun temurun. Ini bukan sekadar tentang posisi, lebih dari itu, ini adalah tentang memikul tanggung jawab untuk menjaga kelestarian budaya, alam dan masyarakat. Berat memang, tapi tidak memberatkan. Papa senang dengan keadaannya sekarang. Meskipun sering banyak masalah yang belum tentu selesai di tangannya, bahkan kadang bisa terlihat begitu pelik, ingatan tentang masyarakat jugalah yang selalu memberinya semacam nyawa tambahan untuk selalu berbakti pada tanah kelahiran.

Mungkin tempat lain serba berlebih, namun karena alasan-alasan yang kami, aku dan papa tak bisa memahami, Fatumnasi memiliki pesonanya sendiri. Barangkali di tempat lain ada daerah-daerah yang serupa dengan Fatumnasi, di mana banyak orang yang juga datang dan pergi, tapi Fatumnasi adalah Fatumnasi. Batu tua yang tetap memiliki ceritanya sendiri. Kadang benar bahwa kita sebenarnya tidak perlu mencari banyak alasan untuk mencintai sebuah destinasi, kita hanya perlu melihatnya secara telanjang dan menerimanya apa adanya.
suku-mollo fatu-kolenDan akhirnya matahari, sebagaimana telah menjadi tabiatnya sejak dulu kala, enggan melambat barang sejenak. Dia angkuh saja berjalan mengitari lingkar langit tanpa tahu aku masih butuh waktu berlama-lama dengan papa Mateos Anin. Mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, lawatan singkat ini harus diakhiri. Aku harus kembali ke Kupang sebelum gelap ikut-ikutan menampakkan diri. Tidak ada selamat tinggal, sebab sampai jumpa adalah kata-kata yang kubisikkan ketika berpamitan dan memutar motor ke arah jalan pulang.

12 thoughts on “Batu Tua Itu Bernama Fatumnasi”

  1. Akhirnya blog ini update juga! Perbincangan dengan papa Mateos Anin mengalir adanya, salut dengan kepeduliannya terhadap alam dan sikapnya yang diceritakan tidak mau lunak dengan egoisme para pengusaha tambang yang hendak mengerogoti Fatumnasi. Jadi kangen Kupang, kangen Fatumnasi. #kedippenuhkode 😉

      1. Oh kupang, tp gw mikir kabupaten timur tengah selatan ini masuk pulau apa yaaaa. Hampir aja googling, eh nemu balesan komen.

        Semoga tahun depan bisa ke kupang dan sekitar nya

  2. Haduh, ini tulisan yang ditulis dengan sangat menggugah, saya terpukau bahkan ketika hanya membacanya. Saya berasa ikut masuk dalam sistem harmoni alam dan manusia di Fatumnasi meskipun tidak hadir secara fisik dalam perbincangan kalian. Ini jadi bukti bahwa manusia dan alam bisa hidup dalam harmoni tanpa harus mengabaikan perkembangan zaman. Kadang-kadang manusia modern menyebut bahwa tipe masyarakat adat seperti ini adalah primitif, namun mungkin saja kita yang bergelimang teknologi jauh lebih terbelakang dibanding masyarakat Fatumnasi.

    Terima kasih karena telah menulis ini!

    1. terima kasih gara
      benar, kita kadang terlalu egois dengan menyebut mereka primitif dan berharap mereka tetap hidup seperti itu
      sebab jika kita bosan dengan kehidupan kota, kita bisa sesekali kembali melihat mereka
      seperti kebun binatang
      aahh..

  3. “Kadang benar bahwa kita sebenarnya tidak perlu mencari banyak alasan untuk mencintai sebuah destinasi, kita hanya perlu melihatnya secara telanjang dan menerimanya apa adanya.”

    setelah membaca tentang fatumnasi ini berserta apa mateos anin usang mengerti keindahan fatumnasi berbeda dengan dataran Ntt yang lainya.

    tapi kutipan di atas membuat usang merasa tersengat dan merenungi sebuah perjalanan yang usang mulai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *