Di dalam sebuah kota, ruang bermain adalah perihal yang telah lama hilang. Mungkin itulah salah satu alasanku sering bepergian ke hutan maupun lautan, menemukan lagi taman-taman yang sekarang keberadaannya semakin terancam. Jika sudah mulai jengah dengan geliat beton dan gedung bertingkat, biasanya kusempatkan untuk berpelesir disela kesibukan, dan kali ini Taman Nasional Baluran hadir bagai pengobat rindu. Melegakan dahaga akan jiwa kanak-kanakku yang terus menerus haus meminta lapangan luas, pun deret pepohonan yang tak terbatas.

Memasuki Taman Nasional Baluran dimulai dari gapura pos penjaga, dilanjutkan dengan jalanan berbatu sepanjang dua belas kilometer. Dalam rentang waktu perjalanan aku melihat kera-kera ada pada rimbanya dan ratusan kupu-kupu hidup di habitatnya. Hal lain yang menarik perhatianku adalah sebuah hutan teduh bernama Evergreen, mereka bilang hijau sepanjang tahun. Tentu sang gersang akan selalu cemburu ketika kering tanah mulai mengangsu air dari segala yang mengakar diatasnya namun Evergreen tetap tak kehilangan pesona.
baluranMobil terus berjalan dengan pelan dan perlahan. Dari luar kaca, gelap rimbunan hutan seakan mulai mengubah bentuk. Dalam bayangan yang berkelebat lambat, terang mulai mengetuk-ngetuk jendela. Aku melihat padang gersang yang ditumbuhi berbagai macam semak. Sabana Bekol, primadona Taman Nasional Baluran. Ah, akhirnya sampai. Kontras dengan lazuardi yang menyaru biru, tetumbuhan di Bekol menguning kerontang. Disana sini aku melihat kawanan Akasia liar ranggas seperti remaja yang patah hati. Mungkin tak ada yang sudi merangkul karna diciptakan berduri, sedang matahari tak henti menjemurnya dengan terik.

Karena keinginan yang sangat untuk menyapa dan menikmati sabana dari dekat, maka aku meminta turun dari mobil dan menyuruh yang lain melanjutkan perjalanan. Terletak di salah satu sudut paling timur pulau Jawa, tak menjadikan Baluran sepi cerita. Kuhampiri salah satu Akasia yang kesepian, tersenyum, dan mulai merebahkan diri dibawah rindang kanopinya. Sejuk angin menyeru sepoi, terik matahari tak terasa. “Terimakasih, lama sudah aku tak merasakan suasana seperti ini” ujarku berbisik pada telinga sendiri.

“Tak lama lagi kau akan kehilangan suasana ini, sahabat.” Terdengar suara berat entah dari mana. Aku tersintak kaget. Dalam kebingungan, kulempar pandangan sekeliling, namun tak kutemukan satu manusiapun. Belum habis heranku, suara tadi kembali berujar, “Akasia disini akan ditebang dan dibumi hanguskan, juga hamparan bunga kapasan nun jauh disana”

Setelah menyelesaikan kata-katanya, ranting Akasia bergerak-gerak, dahan utamanya terlihat seperti orang meluruskan punggung, celah kambiumnya mulai membentuk bibir lalu berdehem. Ternyata sumber suara tadi berasal dari sebatang pohon, benar, dari sebatang pohon. Sumpah, kejadian ini tak semenarik kedengarannya. Sering kulihat pohon yang berbicara, paling tidak di film-film yang kutonton, tapi tidak langsung di depanku seperti ini.
savanna“Selamat siang wahai Akasia,” ujarku berusaha tenang dan menyembunyikan rasa takut.
“Selamat siang wahai sahabat. Jarang sekali ada yang mau menemaniku. Biasanya para manusia hanya akan berhenti sejenak, bermain kamera lalu pergi tanpa banyak sapa.” Balasnya.

Ada sebusur senyum yang hinggap di bibirku. Ini adalah kali pertama diriku disanjung oleh pohon. Sebegitu senang, hingga tak gagap lagi akhirnya bercengkrama. “Apa maksud perkataanmu tadi sang Akasia? Dibumi hanguskan? Bukankah manusia seharusnya melindungimu?” Rentetan pertanyaan entah kenapa keluar dari mulutku yang mulai terbiasa dengan kehadiran pohon yang bisa berbicara ini.

“Ceritanya berawal pada tahun 1969 saat jumlah sabana di Baluran masih sangat sedikit dan terpisah-pisah. Matahari kala itu seolah marah dengan tanah, tak henti kirimkan panas yang sangat. Akibatnya kebakaran terjadi dimana-mana, melahap banyak pepohonan, menyebabkan areal sabana semakin luas. Para manusia takut jikalau kebakaran tersebut akan menjalar ke hutan musim yang dijaga. Akhirnya mereka mendatangkanku langsung dari Afrika, menanamku sebagai tanaman sekat bakar agar kebakaran tak lagi merajalela.” Akasia memulai kisah sembari mengenang masa lalu.

“Aku menjalankan tugasku dengan baik, tubuhku yang tahan terhadap api mampu menghambat laju kebakaran sehingga rumput lamuran yang menjadi vegetasi primer sabana dapat berkembang biak.” Ujarnya melanjutkan cerita.

“Bukankah itu berita bagus, wahai Akasia?” Aku menjawab terburu.

“Awalnya mereka memang mengelukan diriku, namun waktu ternyata berkata lain. Disini aku bagai menemui surga, iklim di Indonesia yang panas namun bercurah hujan tinggi merupakan tempat tinggal yang cocok, hingga akhirnya laju invasiku tak terbendung. Selain itu aku adalah tanaman polong, sahabat. Produksi bijiku berlimpah. Satwa herbivora senang melalapnya karena kaya karbohidrat dan protein. Mereka lalu mengembara kesana kemari, menghantarkan bijiku kesemua tempat. Bantuan dari para banteng dan rusa ini menyebabkan tumbuhku dimana-mana. Baluran kembali kritis karena diriku mulai menutup lahan sabana dan menggantinya dengan ladang Akasia.”
akasia“Tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh, mereka mulai melakukan pemberantasan. Spesiesku sangat dibenci, kehadiranku tak lagi dikehendaki. Banyak cara yang mereka lakukan, mulai dari mendatangkan alat berat, mencabutiku sampai ke akar, bahkan meracuniku dengan berbagai Herbisida dan Xarbosida garlon. Tindakan yang bagiku hanyalah sebuah katarsis atas apa yang telah mereka perbuat.”

“Tunggu dulu, atas apa yang mereka perbuat? apa maksudmu?” Aku bertanya penasaran.

“Sahabat, diriku yang tumbuh cepat ini bisa dengan mudahnya dijadikan kambing hitam atas berkurangnya populasi satwa di Baluran ini. Alih alih introspeksi diri mereka malah sibuk menyalahkan. Memang benar, rumput yang menjadi makanan satwa liar mulai berkurang karena diriku, namun apakah mereka tak ingat bahwa kelangkaan ini tidak sepenuhnya salahku. Banyak sebab lain yang mereka ciptakan sendiri dan berpura lupa setelahnya. Sebut saja perburuan liar. Berapa banyak sudah kematian yang disebabkan oleh mesiu dan desing peluru? Perubahan fungsi kawasan juga sebab yang mereka selalu elakkan. Pembukaan lahan untuk pemukiman dan pengembalaan juga ikut andil dalam hilangnya jumlah habitat.”

“Baluran memiliki jenis tanah yang kadar liatnya tinggi, tidak mampu menyimpan air dan merekah pada musim kemarau. Beruntunglah Baluran ketika keberadaan kerbau liar masih cukup banyak ditemukan. Perilaku mereka yang senang berkubang mengencerkan endapan lumpur yang ada sehingga titik-titik sumber mata air tetap terjaga. Namun sekarang populasi kerbau berkurang, sendimentasi tanah akhirnya menutup banyak sumber air. Banteng kehausan, rusa kekurangan asupan sementara populasi ajag terus melimpah dan menjadi predator utama tanpa lawan. Ajag yang sekilas mirip anjing ini masuk dalam kategori apendix 2 dan digadang sebagai satwa langka berstatus hampir punah. Bagai membuka kotak Pandora, manusiapun akhirnya bingung, entah harus dibasmi atau dilindungi.”

“Lanjutkan ceritamu Akasia” aku berujar pelan.

“Bunga kapasan juga akhirnya ikut-ikutan menjadi korban. Apakah menurutmu masuk akal jika manusia menyalahkan tumbuhan karena telah menyembunyikan kawanan rusa, banteng, dan merak di baliknya? Tuhanlah yang telah menciptakan Abelmoschus moschatus tersebut dengan ketinggian sampai satu meter. Memang manusia sangat pintar mencari alasan. Mereka bilang bunga kapasan menghalangi pemandangan, menyebabkan perburuan makin gencar, sehingga juga harus dibasmi. Sahabat, alam telah sangat tua dan bijaksana. Bunga kapasan hadir disini bukan tanpa sebab. Minyak atsiri yang terdapat di dalam akarnya telah menjadi insektisida dan larvasida alami selama berabad abad.”
skylineMataku menyapu keadaan sekitar. Memang benar, selain Akasia, petal kuning bunga kapasan juga telah menutupi sebagian kawasan sabana. Pelik sudah tenyata masalah yang ada disini, di Taman Nasional yang katanya Afrika rasa Indonesia.

“Dua puluh tahun sudah manusia menunjukkan kebengisannya didepanku, menggerogoti kaumku yang tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin mereka takkan pernah puas hingga spesiesku habis dari Baluran. Aku telah menjadi sepah yang dibuang. Salahkah jika aku bertanya apa salahku, wahai sahabat? apa salahku?” Akasia tak terima dengan nasibnya.

Aku diam tak bisa membalas.
Salahmu..
Salahmu..
“Salahmu menjadi Akasia,” tak ada jawaban lain yang bisa kuutarakan.
“Semoga di kemudian hari kau bisa terlahir menjadi manusia, dan menyuarakan bisikan kaummu.” Ujarku menutup pembicaraan.

15 thoughts on “Antara Baluran Dan Percakapanku Dengan Akasia”

  1. Jadi, siapa yang salah?

    Apakah yang mendatangkan akasia ke Baluran untuk pertama kalinya? Jadi pilihannya hanya dua, memilih sabana Baluran diterjang kebakaran ataukah mengubah sabana Baluran menjadi ladang akasia?

    Apa pilihanmu Mas? Dalam hidup, kita disodori banyak pilihan dengan resiko yang bermacam-macam. Tentu kita tahu, bahwa kita tak akan bisa memilih untuk kembali ke masa lampau.

    1. haha, akhirnya ada yang bertanya
      tulisan ini sengaja dibuat anti klimaks untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti mas wijna 🙂
      banyak orang yang menyayangkan baluran tak lagi seperti dulu yang melulu sabana
      saya mencoba bercerita dari perspektif si akasia
      lalu apa pilihan kita selanjutnya?
      entahlah..

    1. heh, nyuruh-nyuruh keep writing
      BLOGMU KAPAN DI UPDATE?
      haha, sibuk bgt kayaknya dan, ayo nulis lagi..
      lama nih gak nongol tulisanmu selain lomba awal mula..

  2. Refleksi nya keren Bung Yofangga,

    Salut,
    Semoga banyak menusia terketuk kebijakannya membaca ini,
    bahwa tanpa menjaga lingkungan, suatu saat kita sendiri yang akan jadi korban.

    Tabik,

    1. semoga, saya cuma mencoba untuk bercerita dari sudut berbeda
      saat diluar sana orang ramai menyalahkan akasia, saya hadir sebagai oposisi
      saatnya bijak melihat kondisi tanpa harus saling menyalahkan

  3. Kupikir, semuanya diciptakan seimbang oleh Tuhan. Hanya kadang kepintaran manusia yang berlebih memunculkan opini-opini yang diiya-iyakan.

    Yang manusia bisa lakukan, biarkan saja si alam. Dia tahu mana yang harus tumbuh dan mati.

Leave a Reply