Aku dalam ketergesaan mencari pelarian baru setelah bilangan minggu lunas kakiku layang di tanah Sasak. Siang ini langkah berangsur sedikit lebih jauh, aku berada di dalam bis menuju Sape, sebuah pelabuhan di ujung timur Sumbawa. Dari celah jendela terlihat sisa matahari keriput di ujung langit biru. Udara Sumbawa memang bagai neraka, panasnya membakar. Sekujur kulitku berubah mulai dari merah-bara hingga kini jadi hitam-arang kayu bakau.

Dalam goyangan besi tua yang karatan, mataku mulai berat. Disela rentang jalan, masih ada waktu sekerat untuk berehat. Kukatupkan dua kelopak, berharap dapat lelap tidurku walau dalam hingar deru mesin dan bingar laju roda menghantam aspal berlubang. Hanya butuh beberapa jenak, hilang sudah kesadaranku dari dunia. Yang tersisa cuma sekelebat bayang cerahnya hari. Aku mulai bermimpi secara acak, dalam tidur waktu terasa berlari, semua menjadi begitu cepat.

Tiba-tiba lelapku dikagetkan oleh bis yang berhenti mendadak. Kawanan sapi terlihat melintasi jalan, panjang sekali bertali-tali tak henti. Jalanan disini memang begitu, dipakai bersama, sapi dan manusia mempunyai hak serupa, tak ada beda. Buyar sudah anganku, ternyata tubuh ini masih terjebak dalam perjalanan. Kubenarkan posisi duduk, menyandarkan lagi kepala lebih nyaman.
sapeTak terasa kelat aroma garam mulai tercium, mungkin Sape sudah tak terlalu jauh. Sayup telingaku mendengar debur ombak yang merajuk. Kubayangkan riuhnya gelombang laut tak surut bertaut pecah di bibir pantai, menyapa karang ataupun pasir ditepian pesisir. Sepoi angin melayang dipelataran, membisik tanpa berisik, menyapa tiada mengusik. Benar ternyata, tak butuh waktu terlalu, laju kendaraan mulai pelan dan berhenti di tepian dermaga. Aku sampai.

Kulanjutkan tapak memasuki pelabuhan. Disini penuh manusia, berupa-rupa, beragam dialektika. Aku langsung tersesat dalam rerimbunan bahasa yang asing. Bahasa yang seluruhnya adalah nyanyian penidur ombak dan peluluh yang bergolak. Para penjaja gorengan yang sedari tadi menanti pembeli menyapaku dengan manis senyuman. Membuat tangan merasa bersalah jika tidak sampai merogoh saku. “Tuan pasti seorang pendatang, peluhnya tidak beraroma ikan.” Tanyanya. Kujawab dengan ramah dan bincang kecil pembunuh waktu.

Aku mengambil beberapa gorengan, si ibu penjual tak mengawasi dan menghitung betul berapa jumlah yang kuambil. Ketika mau membayar dan ia bertanya berapa, kujawab lima, dia percaya saja. Padahal bisa saja kubilang tiga. Betapa mudahnya transaksi terjadi di tempat seperti ini. Tak perlu hitung ulang dan pengawasan ketat. Tak perlu bon dan tanda terima. Cuma butuh kepercayaan, sesuatu yang telah banyak hilang dari kehidupan sehari-hari kita. Jangan-jangan rasa tersebut memang hanya bisa hidup di tempat-tempat tertentu, yang cuma mengenal uang receh?
bulanDi sudut lain dermaga, bertumpah aroma angin, mulai dari karat besi tua sampai anyir jala. Tak terasa, sore sudah merapat, aku menyaksikan siang perlahan terbenam dan matahari tenggelam ke dalam laut, tanpa perkabungan. Malam menyala di Sape, kapal-kapal besar terlihat mulai menyandarkan bahu di tepian, menunggu penumpang. Dermaga terlihat terang bermandikan cahaya di pelataran purnama, dibawah tebaran gemintang.

Setelah membeli karcis, aku naik ke atas kapal, bersiap melakukan penyeberangan. Sembari duduk di salah satu anjungan, kulempar pandangan ke langit luas. Betapa jauh sudah langkahku dari rumah, melewati jutaan detik dan ribuan kilometer. Pernah seorang sahabat bertanya kepadaku, “Kenapa engkau selalu pergi dan melarikan diri?”. Kujawab dengan “Kita harus pergi untuk bisa merasakan pulang”. Dia tak puas dengan jawabanku, dan bertanya lagi “Tapi bukankah jika kau tak pergi, kau juga tak harus pulang, rumah akan tetap ada bersamamu” timpalnya. “Namun jaraklah yang mengajari kita arti rindu, jarak yang membuat kita menghargai makna dekat.”

Bersamaan dengan peluit panjang, kapal melepas sauh besi raksasanya dan mulai berlayar. Malam ini aku berumah di atas kapal, menumpangkan hidup untuk habiskan malam di bentang laut yang luas. Kapal ferry ini terasa kecil di tengah hamparan ladang air tak berpinggir, hingga rasanya terapung-apung aku diombang gelombang. Aku masih tetap sibuk dengan dialog asing di kepala. Sesekali saling mendenda senyum tiap lancang bertatap tak sengaja pada orang lalu lalang.

“Kapal ini akan menempuh delapan jam perjalanan sebelum kita sampai di Manggarai”. Aku dkejutkan oleh suara salah satu penumpang yang tenyata sudah berada di sebelahku. “Mau apa ke flores? kerja kah?” dia melanjutkan. “Bukan bang, cuma mau liburan saja,” jawabku. “Haha, udah kayak bule saja kamu liburan,” dia tertawa mendengar ucapanku. Entah sejak kapan berkeliling negeri sendiri diidentikkan dengan bule. “Justru itu bang, bule saja mau menghabiskan waktunya keliling nusantara, masa kita orang Indonesia malah gak tau dan kenal negeri kita sendiri, malu khan?”. Dia hanya bisa diam dan manggut-manggut.
sunriseBerjam-jam kita habiskan dengan berbincang macam-macam. Tentang dia yang ternyata seorang pedagang. Mengeluhkan setiap harga yang melambung, menyayangkan minimnya listrik di pedalaman, menggerutu tentang jalanan rusak, tentang korupsi yang menjadi-jadi, tentang pendidikan, perekonomian, berbagai topik. Aku mulai heran, entah telah berapa banyak orang yang kutemui menceritakan hal serupa. Menyalahkan sana dan sini, ingin merubah itu dan ini. Mereka lupa, bahwa sebenarnya yang paling sulit dan penting adalah merubah diri sendiri, merubah sudut pandang kita sendiri. Jangan terlalu banyak mengeluh, keadaan hanya akan berubah dengan peluh.

Fajar menyingsing, langit memerah darah, daratan mulai terlihat dikejauhan. Akhirnya aku tiba di tepian paling barat pulau Flores, Manggarai Barat. Inilah kampung kecil dengan dermaga sempit yang terjepit oleh keluasan air laut. Saatnya meneruskan perjalanan.
labuan bajo manggarai

15 thoughts on “Antara Sape Dan Manggarai”

    1. salam kenal juga 🙂
      masih berusaha memberikan warna berbeda pada cerita
      semoga bisa dinikmati
      terimakasih sudah bersedia mampir di rumah sederhana ini 🙂

  1. Bung Yofangga,
    Membaca ini membuatku gagal fokus pada cerita perjalananmu ke Manggarai,
    Tapi justru mengantarku pada kisah Petualangan Si Roy yang didongengkan secara apik oleh Gol Agong.

    Titip salam untuk Tanah & Warga Timur Indonesia.

      1. Saya dulu punya bukunya, tapi mencar semua cuma sisa 2 dari 10 buku.
        Sekarang yg ada cuman e-booknya, dapat unduh gratisan, soalnya di toko buku udah nggak nemu. 😀

    1. hehehe, belajar, belajar dan terus belajar
      tak ada yg instan, buat mie instan aja juga masih harus ada usaha khan?
      hehe
      intinya, terus mencoba 🙂

  2. Ah kakak pandai sekali kau merangkau kata, daku penasaran bagaimana peluh berbau ikan ??? Hehe. Dan aku setuju sekali, kalo bule saja mau menikmati indonesia, maka knp kita tidakkkkk !!!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *